Senin, 15 Mei 2017

Fayakhun Adriadi, Politisi yang Kritis

Menjadi politisi semestinya memang tidak kehilangan idealisme dan daya kritis terhadap persoalan. Terhadap pemimpin sekalipun tidak boleh abai jika memang pemimpin tersebut berjalan tidak pada rel-nya. Politisi pun harus berani memberikan kritik demi perbaikan dan saling mengingatkan. Daya kritis seorang politisi, seperti yang dimiliki oleh Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, Fayakhun Andriadi, tentu sangat diharapkan demi evaluasi kepemimpinan.
Daya kritis FayakhunAndriadi salah satunya tercermin dalam keberaniannya menyurati Gubernur Jakarta pada tahun 2007 silam. Fayakhun menulis : “Pak Gubernur, sebelumnya perlu Anda ketahui bahwa di tahun 2007 menjelang Perhelatan akbar pesta demokrasi Pemilukada Jakarta, saya ikut mendukung Anda. Tentu saja sebagai warga Jakarta yang merasakan betul hiruk-pikuk kehidupan kota Jakarta, saya tak asal dalam menentukan pilihan. Bagi saya, Kota Jakarta harus dipimpin oleh orang yang betul-betul ahli, sekelas Ali Sadikin atau pun Bang Yos.”
Fatakhun melanjutkan : “Saya ingat betul, Anda pernah berjanji akan menyelesaikan permasalahan di Jakarta, terutama kemacetan, banjir dan kemiskinan. Untuk mengatasi kemacetan tersebut, Anda bilang akan terus mengembangkan konsep transportasi makro seperti busway dan monorail. Merevisi Perda ketertiban umum dan Perda lainnya agar lebih berpihak kepada warga miskin. Sementara untuk banjir, Anda juga sempat mengatakan,“serahkan saja pada ahlinya”.
“Dari sisi kompetensi akademik, gelar Doktor-Ingenieur dari Universitas Teknologi Kaiserlautern yang Anda sandang ini memang tampak menjanjikan. Pun demikian dari sisi penampilan, Kesan ‘gagah’ yang saya dapati dari Patung Elang Bondol yang mencengkram Salak Condet di perbatasan Jakarta-Bekasi seakan melekat pada Anda. Sebagai warga Jakarta yang memimpikan sosok pemimpin yang gagah, berani dan mampu melakukan perubahan, pada 2007 itu saya betul-betul menyandarkan pengharapan akan DKI yang lebih baik dan modern pada anda.”
Dalam rangkaian surat selanjutnya, Fayakhun menyayangkan kinerja Gubernur saat itu. Ia menulis : “Hanya saja, dalam perjalanannya, lamat-lamat kesan itu semakin sirna. Saya tak mendapati sosok Anda yang aktif, kompeten dan tentu saja ahli dalam mengurusi kota Jakarta. Entah kenapa, kesan yang saya dapat dari sosok Anda saat ini malah sebaliknya. Apa yang dapat kita saksikan dari wajah DKI Jakarta sama sekali jauh dari apa yang dijanjikan. Bahkan boleh dikatakan, kondisi jakarta saat ini jauh lebih buruk dan semrawut dibanding sebelum anda jadi Gubernur.”
Di bahasan berikutnya, Fayakhun membuat permohonan kepada Gubernur. Ia menulis : “Pak Gubernur, diantara sekian banyak hal yang memperihatinkan, saya berharap anda berkenan memikirkan hal berikut secara serius sebagai bukti bahwa anda betul-betul punya perhatian dan kepedulian pada warga DKI Jakarta, terutama warga yang kurang beruntung.”



Jumat, 12 Mei 2017

Dual Citizenship Perspektif Ketahanan Nasional menurut Fayakhun Andriadi

Belakangan ini, politisi Indonesia seringkali mendapatkan stigma kurang baik dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak sedikit juga politisi yang memperhatikan nasib masyarakat dan memiliki pemikiran yang baik. Salah satunya adalah Fayakhun Andriadi.

Dalam sebuah tulisannya di kompasiana.com, politisi muda yang juga Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta ini menyatakan bahwa ada begitu banyak diaspora Indonesia yang berhasil merengkuh manisnya hidup di luar negeri dalam berbagai bidang; mulai dari pendidikan, bisnis, ilmuwan, tenaga professional, pekerja seni, atau atlit sekalipun. Mereka ingin jadi WNI tapi terbentur sistem: Indonesia tak menganut Dual Citizenship (kewarganegaraan Ganda). Saatnya merevisi kebijakan tersebut. Manfaatnya lebih besar dibanding mudharatnya.
fayakhun andriadi

“Sejarah peradaban adalah rangkaian siklus kemunduran dan pertumbuhan”. Ungkapan Arnold Toynbe ini kiranya dapat menggambarkan, kenapa sebuah bangsa atau peradaban terkadang seperti menghadapi persoalan yang itu-itu saja. Indonesia misalnya, yang seringkali disebut tak kunjung beranjak dari persoalan pendidikan, infrastruktur dan lain sebagainya. Atau bahkan, negara super power sekelas Amerika Serikat tak pernah betul-betul mampu melepaskan diri dari lilitan masalah tersebut.

Mungkin, satu hal yang membedakan adalah bagaimana dan seberapa cepat sebuah bangsa dapat memaksimalkan apa yang dimilikinya untuk mengatasi beragam persoalan tersebut. Dalam istilah sekarang, bangsa-bangsa tersebut dituntut untuk memiliki ketahanan nasional (national resilience) terhadap ancaman dan tantangan yang datang dari dalam maupun dari luar.

Bagi sebagian orang, apa yang tadi disebut sebagai tantangan dan ancaman mungkin tak melulu dianggap sekumpulan masalah. Tapi sebaliknya, merupakan rangkaian peluang yang sebetulnya tengah menunggu untuk dijadikan sebagai sumber demand untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas. Kulminasinya, generasi berkualitas itu pun diharapkan akan mampu melahirkan kemajuan bagi bangsanya.

Dalam aras ini, maka Norwegia dan Jepang mungkin dapat dikatakan sebagai bangsa yang mampu melakukannya. Paling tidak, dapat dilihat dari peringkat IPM (indeks pembangunan manusia) keduanya yang dalam satu dekade terakhir terus berada di urutan paling atas. Sementara bagi sebagian lainnya, tantangan dan ancaman tersebut dianggap sebagai sekumpulan masalah yang mesti diselesaikan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan cita rasa world class. Dalam konteks ini Korea Selatan yang meski pada tahun 60-an kondisinya lebih kurang sama dengan Indonesia, namun mampu melesat setelah sejumlah diaspora dengan kualitas yang mumpuni kembali dari perantauan lalu membangun tanah airnya.


Sumber: kompasiana.com