Belakangan ini, politisi Indonesia seringkali
mendapatkan stigma kurang baik dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak
sedikit juga politisi yang memperhatikan nasib masyarakat dan memiliki
pemikiran yang baik. Salah satunya adalah Fayakhun Andriadi.
Dalam sebuah tulisannya di kompasiana.com,
politisi muda yang juga Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta ini menyatakan
bahwa ada begitu banyak diaspora Indonesia yang berhasil merengkuh manisnya
hidup di luar negeri dalam berbagai bidang; mulai dari pendidikan, bisnis,
ilmuwan, tenaga professional, pekerja seni, atau atlit sekalipun. Mereka ingin
jadi WNI tapi terbentur sistem: Indonesia tak menganut Dual Citizenship
(kewarganegaraan Ganda). Saatnya merevisi kebijakan tersebut. Manfaatnya lebih
besar dibanding mudharatnya.
“Sejarah peradaban adalah rangkaian siklus
kemunduran dan pertumbuhan”. Ungkapan Arnold Toynbe ini kiranya dapat
menggambarkan, kenapa sebuah bangsa atau peradaban terkadang seperti menghadapi
persoalan yang itu-itu saja. Indonesia misalnya, yang seringkali disebut tak
kunjung beranjak dari persoalan pendidikan, infrastruktur dan lain sebagainya.
Atau bahkan, negara super power sekelas Amerika Serikat tak pernah betul-betul
mampu melepaskan diri dari lilitan masalah tersebut.
Mungkin, satu hal yang membedakan adalah
bagaimana dan seberapa cepat sebuah bangsa dapat memaksimalkan apa yang
dimilikinya untuk mengatasi beragam persoalan tersebut. Dalam istilah sekarang,
bangsa-bangsa tersebut dituntut untuk memiliki ketahanan nasional (national
resilience) terhadap ancaman dan tantangan yang datang dari dalam maupun dari
luar.
Bagi sebagian orang, apa yang tadi disebut
sebagai tantangan dan ancaman mungkin tak melulu dianggap sekumpulan masalah.
Tapi sebaliknya, merupakan rangkaian peluang yang sebetulnya tengah menunggu
untuk dijadikan sebagai sumber demand untuk melahirkan manusia-manusia
berkualitas. Kulminasinya, generasi berkualitas itu pun diharapkan akan mampu
melahirkan kemajuan bagi bangsanya.
Dalam aras ini, maka Norwegia dan Jepang
mungkin dapat dikatakan sebagai bangsa yang mampu melakukannya. Paling tidak,
dapat dilihat dari peringkat IPM (indeks pembangunan manusia) keduanya yang
dalam satu dekade terakhir terus berada di urutan paling atas. Sementara bagi
sebagian lainnya, tantangan dan ancaman tersebut dianggap sebagai sekumpulan
masalah yang mesti diselesaikan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan,
kecakapan, dan cita rasa world class. Dalam konteks ini Korea Selatan yang
meski pada tahun 60-an kondisinya lebih kurang sama dengan Indonesia, namun
mampu melesat setelah sejumlah diaspora dengan kualitas yang mumpuni kembali
dari perantauan lalu membangun tanah airnya.
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar